Penipuan secara online pada
prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang membedakan hanyalah pada
sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet,
perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat
diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Dasar hukum yang digunakan untuk
menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai
berikut:
"Barang siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan
rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."
Sedangkan, jika dijerat menggunakan
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”),
maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai
berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut
adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1
miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE). Lebih jauh, simak artikel Pasal Untuk
Menjerat Pelaku Penipuan Dalam Jual Beli Online. Untuk pembuktiannya, APH bisa
menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana
Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara
maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara
online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime. Sedangkan
di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit
tentang delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat
general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan
menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan tersebut. Tujuan
rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan delik
penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam Pasal 378
KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi
hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur
pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti
menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dasar hukum:
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73)
2.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dikutip dari : http://belajarintoday.blogspot.com/2013/05/kasus-penjualan-online.html
0 komentar:
Posting Komentar